Rumah Tanpa Kehangatan
Pintu rumah terbuka, menampilkan siluet mungil seorang anak perempuan yang membawa piala kecil berkilauan. Senyum lebar terukir di wajahnya, mencerminkan kebahagiaan yang meluap. Namun, senyum itu memudar sedikit demi sedikit saat matanya menangkap pemandangan di ruang tamu. Mamanya duduk di meja kerja, fokus menatap layar laptop yang menyala terang, jari-jari lentiknya menari di atas keyboard. Piala yang dipegangnya terasa berat, seberat beban harapan yang tak tersampaikan.
“mamahhh” teriaknya menghampiri mamanya,dengan yakin jika ia datang sang mama akan melepaskan jari itu dari keyboardnya
“apa ada Raina sayang?” tanyanya,tapi sorot matanya tak lepas dari layar laptop
“mamah liat sini dong” lirihnya
“bentar ya sayang mamah lagi nyelesaiin pekerjaan dulu” balasnya
“mahh,sebentar aja,Raina…” Ucapan anak itu terputus oleh dering ponsel mamahnya. Senyum di wajah anak itu memudar saat mamahnya menjawab telepon.
“bentar ya sayang mamah angkat telpon dulu” meninggalkan anak itu dengan cerita yang belum selesai dan perasaan sedikit kecewa.
Setelah menutup telepon, Mama tersenyum kepada anaknya. “Maaf,sayang. Lanjut ya ceritanya?” Ia berusaha melanjutkan obrolan seperti tidak terjadi apa-apa. Namun, anaknya hanya diam, menatap pialanya dengan pandangan kosong.
“nggak mah gak usah,gak jadi” ucapnya kecewa
“yaudah kalau seperti itu kamu ke kamar ya,mamah mau lanjutin kerjaannya” ucap mamahnya yang tak sadar akan perubahan sikap anaknya
Langkahnya berat, tiap langkah terasa seperti menusuk hatinya. Pintu kamarnya terbanting, suara itu memecah kesunyian yang mencekam. Piala itu tergeletak di lantai, dekat tumpukan buku-buku yang terbuka di beberapa halaman. Ruangan yang biasanya nyaman kini terasa dingin dan kosong. Ia terduduk di lantai, memeluk lututnya erat-erat. Tangisnya pecah, “Aku berusaha keras, Ma… Aku pengen Mama bangga… Mungkin… mungkin aku salah…” omongannya terputus-putus karena isak tangisnya
“apa mungkin papah akan bersikap lebih baik daripada mamah?” pertanyaan itu muncul,mengingat ia masih memiliki papah yang mungkin bisa memberikan sedikit apresiasi kepada prestasi yang ia dapatkan. “mungkin kali ini papah yang akan lebih baik dari mamah” ucapnya meyakinkan dirinya sembari mengusap air matanya
Ia bangkit, langkahnya seperti berjalan di atas awan gelap. Ia menuju sudut kamarnya, tempat piala-piala dan sertifikatnya berdiri gagah, menceritakan kisah perjuangannya. Namun, kilauan penghargaan itu tak mampu menerangi kesunyian hatinya. Ia menyentuh sebuah piala, kemudian yang lain, seolah-olah mencari jawaban yang tak akan pernah ia temukan. “Semua ini… untuk apa, Ma? Untuk apa, Pa? Kalian berdua nggak
pernah benar-benar melihat usahaku…”
Malam harinya. Suara kunci pintu berbunyi. Raina berlari menyambut Papa, piala kemenangannya diangkat tinggi. “Papa,Raina menang!” Suaranya riang. Papa menoleh sebentar, jari-jarinya masih sibuk dengan handphonenya. Tidak ada senyum, tidak ada kehangatan di wajahnya. Ia hanya mengangguk sekilas, lalu kembali fokus ke layar handphonenya. Bibir Raina bergetar, senyumnya sirna. Air mata mulai menggenang di matanya. Ia berbalik, langkahnya berat menuju kamarnya. Piala itu diletakkan di atas meja, suaranya seperti pukulan kecil di hatinya yang hancur. “ternyata mamah dan papah sama saja” lirihnya kecewa. “aku rindu saat-saat dimana semua harta ini belum ada,kehangatan keluarga yang masih melekat di keluarga kita,apa mungkin semua itu akan kembali” ucapnya dengan penuh harapan
Mentari pagi menyinari wajah Raina, menghangatkan hatinya yang sempat membeku. Hari ini, sekolah memanggilnya. Sekolah adalah pelabuhan kecil di tengah badai kehidupan rumah yang dingin. Ia bersiap dengan hati gembira, menyambut hari yang dipenuhi tawa dan keceriaan. Sekolah adalah tempat di mana ia bisa terbang bebas, tertawa lepas tanpa beban. Ia melangkah keluar rumah, membawa secercah harapan, menuju hari yang cerah di sekolah.
Begitu sampai di gerbang sekolah, Raina langsung disambut oleh gelak tawa Ayu dan Dinda. “Ra! Akhirnya kamu datang!” teriak Ayu, sambil melambaikan tangan. Raina membalas lambaian tangan Ayu sambil tersenyum lebar. “Maaf, ya. Tadi pagi agak kesiangan,” kata Raina, menjelaskan keterlambatannya. “Gapapa, yang penting kamu udah sampai!” ucap Dinda, sambil menepuk pundak Rania. “Eh, ngomong-ngomong, kamu lihat nggak, tugas Bahasa Indonesia yang dikumpul kemarin? Aku gambar ilustrasi ceritaku pakai pensil warna, keren banget kan?” tanya Raina. “Iya, keren banget! Aku pakai cat air, hasilnya kurang rapi,” kata Ayu. Ketiganya tertawa lepas.
Dikelasnya ia melanjutkan obrolan yang sempat terputus
“Ra,gimana orang tua kamu pasti bangga kan kamu dapat juara lagi,pasti lah?” tanya Dinda menyimpan harapan besar
“iya,pasti orang tua Raina bangga banget lahh” tambah Ayu
“hehe,iya lahh,masa anak sepintar ini di abaikan” ucap Rania berbohong
“andai kalian tahu keadaan sesungguhnya di rumah aku,Din,Yu” ucapnya dalam hati sembari menatap kedua temannya dengan senyuman kecil
Bel berbunyi, menandakan pelajaran Matematika dimulai. Bu Sarah memasuki kelas, tersenyum ramah. “Selamat pagi, anak-anak!” sapa Bu Sarah. “Pagi, Bu Sarah!” jawab murid-murid serempak. Pelajaran berlangsung. Raina terlihat fokus mengerjakan soal cerita yang cukup rumit. Ayu, memperhatikan Raina, lalu berbisik, “Ra, aku bingung nih sama soal nomor 5, kamu udah bisa?” Raina menjelaskan dengan sabar. Bu Sarah hanya tersenyum, mengamati interaksi mereka dari kejauhan. “Raina, Ayu,” kata Bu Sarah tiba-tiba, “bagaimana jika kalian berdua menjelaskan cara penyelesaian soal nomor 5 kepada teman-teman lainnya?” Raina dan Ayu pun maju ke depan kelas, menjelaskan dengan percaya diri.
Bel istirahat berbunyi. “Lapar banget nih!” seru Ayu. “Yuk, ke kantin!” ajaknya lagi. “Ayok!” sahut Dinda. Raina hanya mengangguk sambil tersenyum. Ketiganya bergegas menuju kantin. “Ra, kamu mau pesan apa?” tanya Ayu. “Aku mau es krim, deh,” jawab Raina. “Aku juga!” kata Dinda. Ayu memesan puding. Mereka bertiga duduk bersama, menikmati makanan dan bercerita tentang pelajaran tadi.
Bel tanda berakhirnya istirahat berbunyi, mengingatkan Raina Dinda Ayu untuk kembali ke kelas. Setelah beberapa mata pelajaran, bel pulang sekolah berdering. Ketiganya berjalan beriringan menuju gerbang, namun Raina tampak melamun, berbeda dengan keceriaan Dinda dan Ayu.
“Ra, kamu kenapa sih? Dari tadi diem terus,” tanya Dinda, menyadari raut wajah Raina yang murung.
Raina tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kekhawatirannya. “Enggak papa kok, Din. Cuma agak lelah aja.”
Ayu menambahkan, “Iya nih, Ra. Kamu keliatan lesu banget. Ada masalah?”
Raina menggeleng, “Enggak kok, serius. Cuma… agak males aja pulang, gitu.” Ia menghindari kontak mata dengan kedua temannya, takut mereka menyadari kesedihan yang sebenarnya.
Dinda menyikut pelan lengan Raina, “Males pulang? Masa sih? Ada PR banyak banget ya?”
Raina tertawa kecil, “Bukan itu, Din. Cuma… nggak tau, deh. Rumahku lagi sepi aja, kayaknya.” Ia berusaha meringankan suasana, tanpa menjelaskan detail tentang dinginnya rumah dan kesunyian yang selalu menimpanya.
Ayu mengangguk mengerti, “Ah, iya ya. Kadang suasana rumah juga berpengaruh banget, sih. Semoga besok lebih ceria ya, Ra!” “Amin,” sahut Raina, merasakan sedikit kelegaan karena teman-temannya memahami, meskipun mereka tidak mengetahui sepenuhnya perasaannya. Ketiganya berpisah di pertigaan, dengan janji untuk bertemu lagi keesokan harinya. Namun, bayangan rumah yang dingin dan hampa masih menghantui Raina.
Raina membuka pintu rumah. “Duh, adem banget!” gumamnya, tapi itu bukan adem yang menyegarkan. Lebih ke dinginnya suasana rumah yang langsung bikin bulu kuduknya merinding. Tas dilempar asal di sofa. Jalannya agak lemas menuju kamar. Rumah sepi banget, beda banget sama ramenya di sekolah tadi.
Begitu sampai kamar, ia langsung jatuh di kasur. “Haduh, sepi banget sih! Kayaknya dinginnya bukan cuma karena cuaca deh,” gumamnya lagi. “Mungkin karena… kurang hangat aja kali ya? Kurang perhatian gitu.” Ia mengaduh pelan, “Beda banget sama ramenya tadi di sekolah bareng Dinda sama Ayu. Sekarang… dingin dan sepi banget.” Ia menghela napas panjang, “Kapan ya rumah ini berasa ‘hidup’ lagi?”
Raina masih terbaring di kasur, menatap langit-langit kamarnya. Kesunyian dan dinginnya rumah masih terasa menusuk. Tok… tok… tok… Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya.
“Papa? Mama?” gumam Raina, berharap itu salah satu orangtuanya. Ia pun bangkit dan membuka pintu. Di ambang pintu berdiri seorang wanita paruh baya yang tak dikenalnya.
“Assalamualaikum, non,” sapa wanita itu ramah.
Raina mengerutkan dahi, “Waalaikumsalam… Maaf, Mbak,siapa ya, saya nggak kenal.”
Wanita itu tersenyum, “Saya Tuti, non. Pembantu baru di rumah ini. Ibu non yang menyuruh saya menemani non di rumah, kalau non sendirian.” Ia menambahkan, “Ada yang bisa saya bantu, non? Mungkin non butuh sesuatu?”
Raina tertegun. Pembantu? Orangtuanya sampai harus memanggil pembantu untuk menemaninya? Ia mengangguk pelan, “Emm… nggak ada kok, Mbak Tuti. Terima kasih ya.” Meskipun sedikit terkejut dan merasa sedikit aneh, Raina tetap mengucapkan terima kasih. Kehadiran Tuti, setidaknya, mengurangi sedikit kesunyian yang menyelimuti rumahnya. Ia kembali merebahkan diri, merasa sedikit lebih tenang. Tapi rasa sepi dan dingin itu masih sedikit terasa, mengingatkannya pada betapa sepinya rumah ini akhir-akhir ini. Ia menghela napas panjang.
Malam harinya. Aroma masakan rumahan yang hangat memenuhi ruang makan. Lampu meja makan menerangi wajah Mama dan Papa yang tampak lebih rileks dari biasanya. Raina duduk di antara mereka, sesekali melirik kedua orang tuanya dengan penuh rasa syukur. Ini adalah makan malam yang sangat berbeda. Biasanya, meja makan ini dipenuhi hidangan mewah dari katering, tapi malam ini, terhidang sayur asem kesukaan Raina, ikan bakar sederhana, dan nasi hangat yang mengepulkan uap.
Mama menyendokkan sayur asem ke mangkuk Raina, senyumnya tulus dan hangat. “Makan yang banyak, Sayang,” katanya lembut.
Papa mengangguk, “Iya, makan yang banyak. Papa senang kita bisa makan bareng kayak gini lagi.”
Suasana makan malam terasa begitu intim. Mereka bertiga mengobrol, berbagi cerita tentang hari mereka. Raina bercerita tentang teman-temannya di sekolah, Papa bercerita tentang pekerjaannya, dan Mama bercerita tentang kegiatannya di komunitas sosial. Tertawa lepas terdengar di antara mereka, menghilangkan bayang-bayang kesunyian dan ketegangan yang selama ini menyelimuti keluarga kecil mereka.
Ini bukan hanya tentang makanan yang lezat, tapi lebih dari itu. Ini adalah momen kebersamaan yang sangat berharga bagi Raina. Sejak kemewahan datang, mereka jarang sekali makan bersama seperti ini, jarang sekali ada waktu untuk sekadar bercerita dan berbagi. Malam ini, di tengah kesederhanaan hidangan, Raina merasakan kehangatan keluarga yang sesungguhnya, sesuatu yang selama ini ia rindukan. Ia memeluk kedua orang tuanya, mengucapkan terima kasih dalam hati untuk malam yang tak terlupakan ini. Malam di mana kekayaan materi sirna, digantikan oleh kekayaan kasih sayang yang tak ternilai harganya.
“Raina seneng banget dehh,bisa makan bareng sambil cerita² sama mamah papah,walaupun mamah belum sempet masakin langsung makanannya” lirih Rania dengan senyuman yang tak lepas dari wajahnya
“mah,pah Raina boleh minta sesuatu gak sama kalian?” tanya Raina
“memangnya mau apa?” tanya balik sang Mamah
“mau baju,sepatu,tas atau apa,bilang aja nanti papah beliin” ucap Papahnya memberikan beberapa pilihan
“nggak pah,aku gak mau beli apa²” ucapnya,tapi obrolan itu terputus ketika deringan handphone papahnya berbunyi
“bentar ya sayang,papah angkat telpon dulu,kamu lanjutin ngobrolnya dulu sama mamah ya” ucapnya lalu berjalan menjauh untuk mengangkat telpon
“iya,pah” ucapnya dengan sedikit kecewa
“kamu mau apa,Ra” tambah mamahnya
“besok kan libur,bisa gak untuk kali ini aja,mamah papah temenin aku buat liburan,aku kangen banget liburan sama kalian” mintanya dengan nada yang sangat rendah
“ehh,maaf ya sayang kalau mamah gak bisa,mamah udah ada rencana sama teman-teman mamah,sekalian mamah mau selesain kerjaan” ucapnya sembari mentap wajah anaknya yang merasa kecewa
“hmm,iya mah gak papa,mamah selesain aja ya kerjaannya” ucap Raina
“kamu perginya sama papah aja ya” ucap Mamahnya
Papahnya kembali setelah selesai mengangkat telpon “kenapa,kok bawa² papah” ucapnya bingung saat datang menghampiri Raina dan Mamahnya
“ini pah Raina minta buat kita temenin dia buat liburan” ucap Mamahnya menyampaikan keinginan Raina
“yaudah,sama mamah aja,kan kamu lagi libur,papah besok ada kerjaan” ucap Papahnya
“pahh,mamah mau kumpul sama teman-teman mamah” ucap Mamahnya.
“memangnya ada ya,yang lebih penting daripada anak” ucap Papahnya menentang
“ohh,kalau begitu yaudah kamu besok gak usah kerja,temenin tuh anak kamu” ucap Mamahnya menggunakan nada yang tinggi
“ya,harusnya kamu dongg,aku kerja juga buat kalian,kamu tuhh padahal setiap weekend libur,tapi kamu selalu mentingin teman-teman kamu” bentak sang Papah
“udah lah capek mamah,mau tidur” ucapnya marah meninggalkan Raina yang terduduk di meja makan dengan mata yang berkaca-kaca
“hehh,tunggu dulu papah belum selesai” ucap sang Papah menyusul
Raina sudah tak tahan menahan bendungan air mata itu. Ia berlari ke kamarnya dengan air mata yang terus turun. Ia merasa kehadirannya saat ini tak diinginkan oleh orang tuanya. Ia terduduk dilantai sembari memeluk kedua lututnya dengan tangisan ya tak henti. “aku gak butuh barang-barang yang mahal,aku hanya butuh waktu mamah dan papah,apakah itu berat,apakah kalian gak sanggup kasih semua itu buat aku” ucapnya diiringi isak tangisnya
Keesokan harinya. Disaat matahari menyorot ke wajah Raina ia terbangun dengan mata yang sembab. Raina membuka handphonenya dan mendapati pesan dari Ayu “Ran,aku tunggu ya ditaman sama Dinda” begitulah pesan dari Ayu
Melihat pesan itu ia langsung bergegas memasuki kamar mandi. Setelah semua selesai ia langsung keluar untuk menemui teman-temannya ditaman. Senyuman yang ia inginkan di hari ini akhirnya muncul walaupun bukan dengan cara jalan bersama orang tuanya,tapi bersama temannya. Itu sudah sangat membuat Raina bahagia
Ditaman,sudah menunggu Ayu dan Dinda ia duduk di salah satu kursi taman menunggu kedatangan Raina “haii,gayss” teriak Raina berlari ke arah temannya
“akhirnya,datang juga” balas Dinda
“mata kamu kenapa Ra kok sembab gitu?” tanya Ayu saat melihat Rania dengan mata sembabnya
“ihh,iya kenapa itu kamu abis nangis ya,cerita dong sama kita” ucap Dinda menambahkan
“ehh,nggak papa kok,ini mah waktu malam cuma sebentar kok nangisnya” ucapnya
“cuma? kata kamu cuma,mana mungkin cuma nangis sebentar sembabnya sampe sekarang” ucap Dinda
“iya kamu jujur aja sama kita,kita bakal bantu kamu kok” ucap Ayu
“tapi…” ucap Raina ragu
“udahh,kenapa Ra?” tanya Dinda penasaran
“apa aku jujur,kalau aku jujur sama aja dong aku ngumbar aib keluarga aku” ucap Rania dalam hati
“kenapa Ra,diem mulu” ucap Ayu
“ehh,gimana yaa” ucap Raina
“udahh Ra” ucap Dinda berharapa Raina bisa lebih tenang untuk bercerita
“hufttt,yuadahh sebenernya hari ini tuh aku pengen banget jalan jalan sama mamah papah aku” ucap Raina jujur
“terus kenapa gak jadi?” tanya Ayu penasaran dengan kelanjutan ceritanya
“tapii,mamah sama papah aku sibuk kerja,sebenernya papah sih,mamah cuman mau kumpul sama temennya sambil nyelesain pelerjaan” ucap Raina
“aku kenal kamu,sebagai Rania yang kuat,kok kamu nangis,kan kamu masih bisa jalan sama kita” ucap Dinda menghibur
“iya yahh,kayak gak punya teman lagi aja buat di ajak jalan” lanjut Ayu
“hehe,ya ini sifat aku yang asli,sifat yang selama ini aku sembunyiin dibalik topeng aku” ucap Rania
“ululu,pokoknya sekarang kalau ada apa-apa lagi kamu cerita aja ya sama kita” ucap Dinda
“iya jangan ada lagi yang kamu sembunyiin dari kita” ucap Ayu
“siapp” ucap Rania tersenyum
Malam harinya. Kegelapan malam menyelimuti kamar Rania. Cahaya lampu jalan yang temaram menerangi sebagian kecil ruangan. Udara terasa berat, menekan dadanya. Ingatan akan peristiwa semalam masih begitu jelas, menusuk seperti duri yang tertancap dalam. Perutnya keroncongan, tapi rasa lapar itu kalah oleh rasa takut yang menguasainya.
Suara Mama terdengar dari ruang makan, hangat dan sedikit memaksa, “Raninaaa… Makan malam, Sayang. Papamu juga sudah menunggu, lho.”
Raina memejamkan mata erat-erat. Ia membayangkan meja makan yang terang benderang, wajah Mama dan Papa yang penuh perhatian… suasana yang seharusnya hangat dan nyaman, kini terasa mengancam.
Dengan suara pelan, bergetar karena menahan air mata, Raina menjawab, “Belum lapar, Mah… Nanti aja, ya.” Kebohongan itu terasa pahit di lidahnya. Ia memang lapar, sangat lapar. Tetapi rasa lapar itu tak sebanding dengan rasa takutnya untuk kembali mengingat peristiwa semalam. Lebih baik ia menahan lapar, daripada harus menghadapi bayangan-bayangan yang masih menghantui. Ia lebih memilih kesunyian dan kegelapan kamarnya, daripada kehangatan palsu di meja makan keluarga. “aku mau banget gabung makan sama kalian,soalnya yang seperti ini dikeluarga kita jarang” lalu dilanjut dengan kata-kata “tapi aku gak bisa kalau harus inget peristiwa semalam”
Hari-hari berlalu, dan Mama merasakan perubahan sikap Raina. Raina jadi pendiam, jawabannya singkat, tatapannya agak kosong, dan senyumnya jarang terlihat. Meskipun Mama sudah lebih sering di rumah, hubungan mereka terasa renggang. Suatu sore, Mama mencoba, “Raina, Sayang, gimana hari ini?” Raina cuma mengangguk pelan, lalu kembali fokus ke ponselnya. Mama menghela napas, sedih.
Akhir pekan tiba. Mama berharap bisa menghabiskan waktu bersama Raina. “Raina, jalan-jalan yuk! Mama sudah berhenti kerja, lho, biar bisa lebih sering bareng kamu.”
Raina menggeleng pelan. “Nggak, Ma. Udah janjian sama teman.” Suaranya datar, tanpa semangat.
Raina pergi bersama teman-temannya. Mama merasa semakin sedih dan bingung. Saat Raina pulang, Mama melihat Raina masuk kamar. Mama sudah ada di sana, menatap deretan piala dan medali Raina. “Raina,” Mama memanggil dengan lembut, “ini semua… prestasi kamu, ya?”
Raina mengangguk pelan.
Mama berkata dengan suara bergetar, “Mama nggak nyangka, Raina. Mama terlalu sibuk kerja, sampai nggak pernah memperhatikan kamu yang ternyata berprestasi sekali. Mama sangat bangga padamu, Sayang.” Air mata Mama menetes. Dia menyadari kesibukannya telah membuatnya jauh dari Raina. Keheningan di kamar itu terasa berat, dipenuhi penyesalan dan kerinduan yang mendalam.
Disuatu hari. Sepulang sekolah, Raina mendapati Mama dan Papanya sudah menunggu di ruang tamu. Suasana terasa hangat dan berbeda dari biasanya. Mama dan Papa tampak sedang berbincang, senyum mereka merekah saat Raina masuk.
“Raina, Sayang, duduk sini,” ajak Mama.
Raina duduk di antara mereka. “Ada apa, Ma, Pa?”
Papa tersenyum bangga. “Kita lagi ngobrolin prestasi kamu yang luar biasa, Sayang.”
Mama mengangguk, “Iya, Raina. Mama dan Papa sangat bangga padamu.”
“Semua piala itu… beneran semua milikmu?” tanya Papa takjub.
Raina mengangguk malu-malu. “Iya, Pa.”
“Mama nggak pernah menyangka, Raina,” kata Mama, suaranya bergetar. “Mama terlalu sibuk bekerja, sampai nggak pernah memperhatikan kamu sedetail ini.”
“Kita salah, Sayang,” Papa menambahkan. “Kita terlalu fokus pada pekerjaan, sampai lupa memperhatikan kamu yang hebat ini.” Papa mengusap rambut Raina dengan sayang.
Raina tersenyum, senyum yang tulus dan lepas. Keesokan harinya, ia bercerita pada Dinda dan Ayu di sekolah. Mereka ikut senang, bahagia melihat Raina kembali mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orangtuanya.
Beberapa hari kemudian, ada lomba lagi. Mama dan Papa datang untuk mendukung. Dan Raina menang lagi! Teman-temannya di sekolah ikut bersorak gembira. Setelah perlombaan, Mama dan Papa memeluk Raina erat-erat.
“Sayang, Mama dan Papa minta maaf,” kata Mama, suaranya bergetar menahan air mata. “Mama dan Papa terlalu sibuk bekerja, sampai mengabaikan kamu.”
Papa mengangguk setuju. “Iya, Sayang. Kita berjanji akan lebih memperhatikanmu.” Papa mengusap air mata Raina.
Raina memeluk Mama dan Papanya erat-erat. Ia merasa sangat dicintai dan dihargai. Suasana rumah berubah. Mama dan Papa mengurangi jam kerja mereka. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu bersama Raina. Mereka bermain bersama, berbagi cerita, dan menikmati kebersamaan yang telah lama hilang. Raina merasa sangat bahagia, bahagia karena akhirnya kembali merasakan kehangatan dan kasih sayang keluarga. Ia tertawa lepas, merasakan betapa berartinya keluarga baginya. “Rumah bukanlah sekadar bangunan, namun tempat di mana cinta keluarga bersemi, lebih berharga dari istana megah yang kosong melompong. Tuhan, aku bersyukur untuk keluarga yang hangat ini.” ucap Rania dalam hati dengan senyuman yang tak lepas dari wajahnya
SELESAI
By : Adelia Novita
Kelas : VIII.1
SMP Negeri 2 Pamijahan
31/01/2025